H.O.S. Tjokroaminoto: Pemikiran Masa “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua”

Riwayat Hidup Singkat

Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah tokoh penting pada Masa Pergerakan Nasional dan Islam Modern di Indonesia. Lahir di daerah bernama Bakur, Madiun, Jawa Timur pada tahun 1882. Dalam aliran darahnya mengalir deras darah bangsawan yang taat beragama. Tjokroaminoto adalah salah satu alumni Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, lulus pada tahun 1902. Setelah lulus dari OSVIA, beliau bekerja menjadi juru tulis di Kesatuan Pegawai Administratif Bumiputera di Ngawi. Di Surabaya pada tahun 1905, Tjokroaminoto bekerja pada sebuah perusahaan dagang sambil mengikuti kursus teknisi di sebuah sekolah malam. Setelah lulus, Tjokroaminoto bekerja di pabrik gula Rogojampi pada tahun 1907. Pada masa awal bekerja, beliau magang sebagai masinis, kemudian menjadi teknisi, kemudiam ia ikut dalam kepengurusan SI pada tahun 1912. Tidak lama kemudian, Tjokroaminoto dipercaya menjadi pemimpin SI cabang Surabaya.

Prestasi perdana Tjokroaminoto adalah ketika ia sukses menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang anggota. Kongres resmi perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret 1913 di Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI mendampingi Hadji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua inilah Tjokro mulai menanamkan pengaruhnya.[1]

Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang pawai berpidato, bahkan ada yang mengatakan bahwa Soekarno hanyalah 1/3 dari Tjokroaminoto. Hal ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya anggota SI yang menjadikan SI sebagai organisasi besar pada masanya. Dalam tulisan Humaidi, seorang peserta program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Sejarah FIB UI, yang berjudul H.O.S. Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme dan Agama di Indonesia menyatakan bahwa ia membagi kehidupan tokoh ini dalam dua masa yaitu “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua” berdasarkan pandangan tokoh ini terhadap nasionalisme dan Islam. Pembagian ini akan dibahas di bagian selanjutnya.

Selain sebagai tokoh pergerakan, Tjokroaminoto dikenal sebagai “Guru Politik” bagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti Soekarno, Musso-Alimin, dan Kartosuwirjo. Bahkan ada yang mengatakan bahwa konflik ideologi pada tahun ’60-an adalah peperangan antara murid-murid Tjokroaminoto.[2] Hal ini dikarenakan Musso-Alimin yang notabene sebagai tokoh PKI melakukan pemberontakan pada pemerintahan Soekarno, dan begitu pula dengan Kartosuwirjo, seorang tokoh Darul Islam.

Tjokroaminoto juga seorang jurnalis. Ia pernah memimpin surat kabar “Oetoesan Hindia” yang merupakan organ internal SI sekaligus sebagai pemilik usaha percetakan Setia Oesaha di Surabaya. Juga pernah terlibat dalam Bendera Islam bersama Agus Salim, Soekarno, Mr Sartono, Sjahbudin Latief, Mohammad Roem, AM Sangadji, serta aktivis Islam dan Nasionalis lainnya. Fadjar Asia pun terbit sebagai suratkabar pembela rakyat berkat kerja kerasnya bersama Agus Salim dan Kartosoewirjo. Tjokroaminoto pun piawai menulis buku, di antaranya adalah dua buku yang diberi judul
Tarich Agama Islam serta  Islam dan Sosialisme.
[3]

Pemikiran Tjokroaminoto

Dalam beberapa tulisan, terutama tulisan Humaidi mengenai pemikiran Tjokroaminoto, maka ada dua perbedaan antara pemikiran Tjokroaminoto pada masa sebelum dan sesudah berumur 40 tahun, atau lebih tepatnya ketika ia keluar dari penjara kolonial. Humaidi sendiri membagi masa ini menjadi masa “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua”. Digambarkan bahwa “Tjokro Muda” adalah Tjokro yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme, memperjuangkan persatuan nasional.[4] Sementara “Tjokro Tua” adalah Tjokro yang mulai berpikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme.[5]

“Tjokro Muda” memiliki kecenderungan menjadikan Islam sebagai tali pemersatu di organisasi SI dan untuk mengangkat derajat kaum bumiputera secara sah. Untuk mengejar ketertinggalan kaum bumi putera, Tjokro juga tidak lupa menuturkan cerita Subali dan Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino. Dalam cerita tersebut, digambarkan mengenai Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini adalah sebuah ajakan simbolik, dengan menggunakan pendekatan “world view” masyarakat Jawa. Cupu diartikan sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah merujuk kepada kaum bumi putera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia mengorbankan diri demi sebuah cita-cita. Arti penting dari pemaparan ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam tidaklah mendalam, cenderung biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa mendasarkan klaimnya dari kitab apa, ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam pemahaman ke-Islaman Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara agama, tetapi pada sisi lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang notabenenya bekas peninggalan budaya hinduisme-jawa yang membekas pada pemahaman golongan Islam abangan.[6]

Kemudian pada perkembangannya,  pemikiran Tjokro tidak banyak berubah. Karena ketika berpidato mengenai Islam yang kebanyakan ditujukan untuk simbol persatuan nasional. Namun perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan Islam, yaitu pada tahun 1922. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Tjokro berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja dilihat Tjokro sebagai suatu proses simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa umur 40 tahun dalam penjara, adalah daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin pergerakan, sama dengan umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI (Central Sarekat Islam) dan menarik pengikut dari kaum buruh. Usahanya ini gagal. Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektif Tjokro bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam.[7]

Pemahaman “baru” Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur “Sosialisme Di Dalam Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.[8]

Pada tahun 1922-1924, Tjokro aktif menjadi pemimpin dari Kongres Al-Islam yang disponsori oleh kaum modernis. Hal ini sebagai pembuktian mengenai kecenderungan pemahamannya tentang Islam sebagai sebuah ideologi. Selain itu, Tjokro juga bersemangat menanggapi isu kekhalifahan yang dikemukakan oleh Ibnu saud. Hal ini memperjelas bahwa pemikiran Tjokro telah dipengaruhi oleh ide-ide Pan-Islamisme. Pada akhirnya kecenderungan pan-Islamis semakin menguat dalam pemikiran Tjokro. Ketika muncul federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul sebagai kekuatan yang menguasainya. Tjokro juga semakin keras berpidato mengenai dikotomi nasionalisme Islam dan sekuler. Kaum beragama, harus memilih organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro. Arti dari gerakan Pan-Islamis Tjokro ini menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan Tjokro adalah sebuah nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan nasib. Islam maupun sekuler, dalam dikotomi ini, di akui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme.


[1] Jemaridewa, Bapak Politik Umat Nusantara, http://tjokroaminoto.wordpress.com/2008/03/21/bapak-politik-umat-nusantara/. Diunduh pada hari Senin, 24 Mei 2010 pukul 10.14.

[2] Humaidi, H.O.S. Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme dan Agama di Indonesia, http://tjokroaminoto.wordpress.com/2008/03/21/hos-tjokroaminoto-potret-pemikiran-nasionalisme-dan-agama-di-indonesia-1/. Diunduh pada Minggu, 23 Mei 2010 pukul 15.20.

[3] Jemaridewa, Bapak Politik Umat Nusantara, http://tjokroaminoto.wordpress.com/2008/03/21/bapak-politik-umat-nusantara/. Diunduh pada hari Senin, 24 Mei 2010 pukul 10.14.

[4] Humaidi, H.O.S. Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme dan Agama di Indonesia, http://tjokroaminoto.wordpress.com/2008/03/21/hos-tjokroaminoto-potret-pemikiran-nasionalisme-dan-agama-di-indonesia-1/. Diunduh pada Minggu, 23 Mei 2010 pukul 15.20.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] HOS Tjokroaminoto, Sosialisme di dalam Islam, dikutip dari Islam, Sosialisme dan Komunisme editor: Herdi Sahrasad, (Jakarta: Madani Press, 2000), hal. 1-20 dalam Humaidi, H.O.S. Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme dan Agama di Indonesia, http://tjokroaminoto.wordpress.com/2008/03/21/hos-tjokroaminoto-potret-pemikiran-nasionalisme-dan-agama-di-indonesia-1/. Diunduh pada Minggu, 23 Mei 2010 pukul 15.20.

Tinggalkan komentar